Minggu, 24 April 2011

PERBANDINGAN OPA, NPM DAN NPS


PERBANDINGAN OPA, NPM, DAN NPS

Dalam paradigma OPA, gerakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik telah diprakarsai oleh Woodrow Wilson. Ia menyarankan agar administrasi publik harus dipisahkan dari dunia politik (dikotomi politik-administrasi). Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para administrator untuk mempratekan sistem nepotisme dan spoil. Karenanya ia mengeluarkan doktrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislatif (politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau mengimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator publik selalu mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis sehingga mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajakan Wilson untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam pemerintahan yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diparkasai oleh Taylor pantas untuk diperhatikan. Metode keilmuan, menurut Taylor, harus menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah, dan didorong untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam membangun prinsip manajemen yang profesional.

Max Weber, ahli hukum dan sosiologi terkenal, sekaligus filsuf ilmu sosial yang beken, juga mengajak untuk melaksanakan prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin kompleks maka dibutuhkan atau diperlukan suatu institusi yang rasional yaitu “birokrasi”. Dalam birokrasi ini diatur perilaku yang tidak saja produktif tetapi juga loyal terhadap pimpinan dan organisasi. Perilaku yang “impersonal” dan “saklek” harus diterapkan. Hubungan kekeluargaan, kelompok sosial dan sebagainya tidak mendapat tempat untuk dipertimbangkan dalam birokrasi. Karenanya, para anggota organisasi harus ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki, dikembangkan dan dituntun dengan peraturan yang jelas dalam menjalankan tugasnya.
           
Dalam perkembangannya, doktrin OPA di atas menghadapi masalah (fallacies). Misalnya, Weber yakin sosok organisasi birokrasi sangat ideal, padahal dalam perkembangannya bisa berubah sifatnya menjadi sangat kaku, bertele-tele, dan penuh red-tape (Weber fallacy). Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one best way of doing the task) untuk melakukan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan (Taylor fallacy). Demikian pula, Wilson cenderung melihat dunia administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak politis, padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).

           

Meski demikian, dari paradigma OPA ini dapat dipelajari bahwa untuk membangun birokrasi diperlukan profesionalitas, penerapan aturan dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan perilaku yang mendorong efisiensi dan efektivitas.

            Pembangunan birokrasi juga dapat dipelajari dari paradigma NPM yang muncul di Inggris, New Zealand, USA dan Kanada. Istilah management pada NPM diberikan lantaran istilah ini lebih agresif dari istilah administration (Vigoda, 2003). Paradigma ini didasarkan pada teori pasar dan budaya bisnis dalam organisasi publik (Vigoda, 2002). Paradigma tersebut muncul tidak hanya karena adanya krisis fiskal pada tahun 1970an dan 1980an, tetapi juga karena adanya keluhan bahwa sektor publik terlalu besar, boros, inefisien, merosotnya kinerja pelayanan publik, kurangnya perhatian tehadap pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah (Hope, 2002).

            Ketika muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1) penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak, (4) penerapan mekanisme kompetisi seperti melakukan kontrak keluar, dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood, 1991).

            Dalam perkembangannya, muncul tujuh doktrin (Osborne & McLaughlin, 2002), delapan doktrin (Martin, 2002), sembilan doktrin (Kasements, 2000), dan bahkan sepuluh doktrin sebagaimana yang disampaikan dalam Reinventing Government (Gaebler & Osborne, 1992). Beberapa tahun kemudian, muncul lagi model NPM yang lebih variatif misalnya model efficiency drive, downsizing and decentralization, in search of excellence dan public service orientation (Ferlie, et.al., 1996). Berbagai variasi ini memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para ahli dalam memodernisasikan sektor publik (Pollit, 1995).

            Dari berbagai doktrin NPM di atas, dapat dipelajari bahwa proses reformasi birokrasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci (Kettl, 2000). Pertama, menyangkut produktivity yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil dengan biaya yang lebih sedikit; Kedua, marketization, yaitu bagaimana pemerintah menggunakan insentif bergaya pasar agar melenyapkan patologi birokrasi; Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah dapat berhubungan dengan warga masyarakat secara lebih baik agar program-programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat; Keempat, decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat program yang responsif dan efektif dengan memindahkan program ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau memindahkan tanggungjawab instansi pemerintah ke para manajer lapangan yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat, atau memberi kesempatan bagi mereka untuk melakukan adaptasi terhadap kebutuhan warga masyarakat; Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan; dan Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya.

            Hasil nyata dari proses penerapan NPM tersebut mencakup lima aspek, yaitu : (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi seperti peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri seperti iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas, hubungan sosial dan kelompok (Ferlie, et.al., 1996; Flynn, 2002).

            Dalam perkembangannya, NPM menuai banyak kritikan karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh kepentingan pribadi (self-interest) sehingga konsep seperti public spirit, public service dan sebagainya terabaikan (Kamensky, 1996 : 251). Hal yang demikian tidak akan mendorong proses demokrasi. Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial (Harrow, 2000). Munculnya NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen selfgovernance dan fungsi administrator sebagai servant of public interest (Box, 1999), bahkan kalau tidak hati-hati, justru akan meningkatkan korupsi dan menciptakan orang miskin baru (Haque, 2007).

            Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM adalah bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat azas, orientasi pada proses dan input (Rosenblomm & Kravchuck, 2005).

            King dan Stivers (1998) dalam buku Government is Us, mendesak agar para administrator melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan) sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. Keterlibatan warga masyarakat harus dilihat sebagai “investasi” yang signifikan.

            Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up action (Stewart, et.al., 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi penonton. Semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggungjawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat. “Citizens First” harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt & Gray, 1998). Isu tentang justice, equity, participation dan juga leadership yang tidak diperhatikan dalam buku Reinventing Government (Osborne & Gaebler, 1992), justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003). Paradigma ini sejalan dengan prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswamy (2004) sebagai sumber energy organisasi di era demokrasi, karena dapat menjamin hak, kebutuhan dan nilai-nilai warga masyarakat dan bukan kebutuhan institusi.

            Ada 7 (tujuh) prinsip NPS (Denhardt & Denhardt, 2003) yang berbeda dari OPA dan NPM. Pertama, peran utama dari pelayan publik adalah membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan masyarakat ke arah yang baru; Kedua, administrator publik harus menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai kepentingan publik; Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsif melalui upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif; Keempat, kepentingan publik lebih merupakan agregasi kepentingan pribadi para individu; Kelima, para pelayan publik harus memberikan perhatian, tidak semata kepada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan peraturan perundangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standard profesional dan kepentingan warga masyarakat; Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibatakan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang menghargai semua orang; dan Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen memberikan kontribusi terhadap masyarakat, daripada oleh manajer wirausaha yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.

            Pelajaran penting yang dapat ditimba dari paradigma NPS ini adalah bahwa birokrasi harus dibangun agar dapat memberi perhatian kepada pelayanan masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak demokratis, memperhatikan norma, nilai, dan standard yang ada, dan menghargai masyarakat. Birokrasi harus berubah orientasinya yaitu dari paradigma constitutionalism ke paradigma communitarianism (Fox & Miller, 1995), atau dari model institution-centric service ke citizen-centric governance (Prahalad, 2005). Selanjutnya dalam rangka mengimplementasikan paradigma tersebut, perlu diterapkan pola citizen-centered collaborative public management (Cooper, at.al., 2006), asalkan tidak ada tindakan birokrasi yang memanipulasikan partisipasi masyarakat (Yang & Callahan, 2007).










Tabel 1.
Perbandingan Tiga Perspektif dalam Administrasi Publik

Element
Old Public
Administration
New Public Management
New Public Service
Dasar
Epistemologi
Teori Politik
Teori Ekonomi
Teori Demokrasi,
Beragam pendekatan
Konsep Public
Interest
Sesuatu yang
Diterjemahkan secara politis dan tercantum
dalam aturan
Kepentingan publik
Mewakili agregasi
Kepentingan individu
Kepentingan
publik merupakan
hasil dialog nilai-nilai
Siapa yang
dilayani
Klien dan konstituen
(Clients & Constituents)
Pelanggan
(Customers)
Warga negara
(Citizens)
Peran
Pemerintah
Mengayuh (mendesain
dan melaksanakan
Kebijakan yang
terpusat pada tujuan
tunggal dan ditentukan
secara politik)
Mengarahkan (ber-
tindak sebagai
katalis untuk
mengembangkan
kekuatan pasar)
Melayani (melakukan negosiasi dan menjadi perantara beragam
kepentingan di
masyarakat dan
membentuk nilai
bersama)
Rasionalitas dan
Model perilaku
manusia
Rasionalitas sinoptis,
Manusia administratif
Rasionalitas teknis
dan ekonomis,
“economicman”
pengambilan
keputusan yang
self-interested
Rasionalitas
Strategis atau formal,
Uji rasionalitas
Berganda (politis,
Ekonomis, dan
organisasional
Akuntabilitas
Menurut hierarkhi
administratif
Kehendak pasar
yang
merupakan hasil
keinginan customers
Banyak dimensi;
Akuntabilitas pada
Nilai, hukum,
Komunitas, norma
Politik, profesionalisme,
Kepentingan citizen
Diskresi
Administrasi
Diskresi terbatas pada
Petugas administratif
Berjangkauan luas
Untuk mencapai
Sasaran
entrepreneurial
Diskresi diperlukan
Tetapi bertanggung-
jawab dan bila
terpaksa
Struktur
Organisasi
Organisasi birokratis,
Kewenangan top-down
Organisasi publik
terdesentralisasi
Struktur kolaboratif
antara
kepemimpinan
eksternal dan internal
Mekanisme
Pencapaian
Sasaran
Kebijakan
Melalui program yang
diarahkan oleh agen
Pemerintah yang ada
Melalui pembentukan
Mekanisme dan
Struktur intensif
Membangun koalisi
antara agensi publik,
non-profit dan swasta

Dasar Motivasi
Perangkat dan
administrator
Gaji dan tunjangan,
disertai perlindungan
bagi pegawai negeri
Semangat wirausaha,
Keinginan ideologis
Untuk mengurangi
Ukuran pemerintah
Pelayanan kepada
masyarakat,
keinginan untuk
memberikan
kontribusi bagi
masyarakat
Sumber : Denhardt & Denhardt, 2003,

           

Masing-masing paradigma telah memberikan doktrin atau nasihat yang berbeda-beda dalam rangka membangun birokrasi. Perbedaan doktrin ini sebenarnya dipengaruhi oleh perbedaan konteks dan tipe sektor atau bidang yang ditangani. Karena itu, pemaksaan penerapan satu paradigma yang sama untuk semua jenis bidang kehidupan publik, jelas akan sangat kontraproduktif.

            Di bidang politik dan hukum, pemerintah harus bertindak tidak pandang bulu, aturan dan prosedur tidak boleh dilanggar, dan harus bertindak tegas, karenanya, doktrin paradigma OPA lebih sesuai. Dalam bidang ekonomi, pemerintah harus berjiwa enterpreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan masyarakat. Karena itu, penerapan NPM nampak lebih tepat, dan pemaksaan penerapan OPA akan menimbulkan masalah. Selanjutnya dalam mempromosikan demokrasi dan pemerataan, pemerintah harus mengikutsertakan masyarakat sebagai warga negara yang berkepentingan, dan memperhatikan nilai-nilai mereka. Dalam konteks ini, penerapan NPS akan lebih efektif.

            Tuntutan akademis ini kiranya memberikan gambaran tentang postur birokrasi yang dibutuhhkan dalam masing-masing sektor atau bidang kehidupan. Postur birokrasi menyangkut sistem birokrasi maupun birokratnya harus benar-benar sesuai dengan karakteristik bidang atau sektor yang ada. Mungkin terabaikannya pembangunan birokrasi selama ini disebabkan oleh adanya kesalahan atau kelalaian dalam memilih dan menerapkan doktrin-doktrin tersebut.

15 komentar:

  1. BAGUS SEKALI TULISANNYA PAK, TAPI SAYANG REFERENSINYA GA DITULIS. DITUNGGU KARYA2NYA YG LAIN PAK ... SALAM KENAL DARI SAYA.

    BalasHapus
  2. ASSALAMUALAIKUM, Pak cukup bagus tulisannya semoga menambah wawasan bagi yang membaca.tapi sepertinya Indonesia sulit untuk berubah menjadi NPM apalagi NPS, birokrasi kita lebih bangga dengan OPA nya.

    BalasHapus
  3. bagus sekali pak tulisannya..sungguh inspiratif, membuka wawasan baru tentang administrasi...

    BalasHapus
  4. MOHON PENJELASAN MENGENAI KAITAN REFORMASI DENGAN PERKEMBANGAN PARADIGMA ADM PUBLIK DENGAN PERSPEKTIF NPM & NPS !!!

    BalasHapus
  5. kalau bisa disertakan juga contoh-contoh dari OPA,NPM,NPS itu sendiri pak agar para pembaca semakin mengerti.

    BalasHapus
  6. terima kasih artikelnya pak, sangat membantu kami sebagai mahasiswa untuk mencari dan menambah referensi

    BalasHapus
  7. terimah kasih pak... penjelasan yang cukup akurat...

    BalasHapus
  8. ada contohnya masing@ g pak?????

    BalasHapus
  9. bagus tulisannya, pak kalau bisa ada sumbernya semoga bermanfaat terutama bagi mahasiswa adm publik. tks

    BalasHapus
  10. saya baru membaca tentang ini mohon pejelasan apa pengaruh OPA.NPM.NPS dinegara berkembang.khusus di SKPD daerah otonomi

    BalasHapus
  11. Sya baru baca pak apa doktrin dari NPM dan NPS dalam birokrasi

    BalasHapus
  12. Terima kasih artikelnya Pak,sangat membantuđź’•

    BalasHapus