Jumat, 29 April 2011

SUKSES BERSAMA SURYA PALOH

SURYA PALOH (SUKSES ANAK KOLONG DALAM BISNIS MEDIA)






Juni 7, 2008 oleh husyap
 Surya Paloh, 40 tahun, lahir di Tanah Rencong, di daerah yang tak pernah dijajah Belanda. Ia besar di kota Pematang Siantar, Sumut, di daerah yang memunculkan tokoh-tokoh besar semacam TB Simatupang, Adam Malik, Parada Harahap, A.M. Sipahutar, Harun Nasution. Ia menjadi pengusaha di kota Medan, daerah yang membesarkan tokoh PNI dan tokoh bisnis TD Pardede. Aktifitas politiknya yang menyebabkan Surya Paloh pindah ke Jakarta, menjadi anggota MPR dua periode. Justru di kota metropolitan ini, kemudian Surya Paloh terkenal sebagai seorang pengusaha muda Indonesia.
Surya Paloh mengenal dunia bisnis tatkala ia masih Remaja. Sambil Sekolah ia berdagang teh, ikan asin, karung goni, dll. Ia membelinya dari dua orang ‘toke’ sahabat yang sekaligus gurunya dalam dunia usaha, lalu dijual ke beberapa kedai kecil atau ke perkebunan (PTP-PTP). Di Medan, Surya Paloh mendirikan perusahaan karoseri sekaligus menjadi agen penjualan mobil.
Sembari berdagang, Surya Paloh juga menekuni kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Sosial Politik, Universitas Islam Sumater Utara, Medan. Di kota yang terkenal keras dan semrawut ini, keinginan berorganisasi yang sudah berkembang sejak dari kota Pematang Siantar, semakin tumbuh subur dalam dirinya. Situasi pada saat itu, memang mengarahkan mereka aktif dalam organisasi massa yang sama-sama menentang kebijakan salah dari pemerintahan orde lama. Surya Paloh menjadi salah seorang pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
Setelah KAPPI bubar, ia menjadi Koordinator Pemuda dan Pelajar pada Sekber Golkar. Beberapa tahun kemudian, Surya Paloh mendirikan Organisasi Putra-Putri ABRI (PP-ABRI), lalu ia menjadi Pimpinan PT-ABRI Sumut. Bahkan organisasi ini, pada tahun 1978, didirikannya bersama anak ABRI yang lain, di tingkat pusat Jakarta, dikenal dengan nama Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).
Kesadarannya bahwa dalam kegiatan politik harus ada uang sebagai biaya hidup dan biaya perjuangan, menyebabkan ia harus bekerja keras mencari uang, dengan mendirikan perusahaan atau menjual berbagai jenis jasa. Ia mendirikan perusahaan jasa boga, yang belakangan dikenal sebagai perusahaan catering terbesar di Indonesia. Keberhasilannya sebagai pengusaha jasa boga, menyebabkan ia lebih giat belajar menambah ilmu dan pengalaman, sekaligus meningkatkan aktifitasnya di organisasi.
Menyusuri kesuksesan itu, ia melihat peluang di bidang usaha penerbitan pers. Surya Paloh mendirikan Surat Kabar Harian Prioritas. Koran yang dicetak berwarna ini, laku keras. Akrab dengan pembacanya yang begitu luas sampai ke daerah-daerah. Sayang, surat kabar harian itu tidak berumur panjang, keburu di cabut SIUPP-nya oleh pemerintah. Isinya dianggap kurang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia.
Kendati bidang usaha penerbitan pers mempunyai risiko tinggi, bagi Surya Paloh, bidang itu tetap merupakan lahan bisnis yang menarik. Ia memohon SIUPP baru, namun, setelah dua tahun tak juga keluar. Minatnya di bisnis pers tak bisa dihalangi, ia pun kerjasama dengan Achmad Taufik Menghidupkan kembali Majalah Vista. Pada tahun 1989, Surya Paloh bekerja sama dengan Drs. T. Yously Syah mengelola koran Media Indonesia. Atas persetujuan Yously sebagai pemilik dan Pemrednya, Surya Paloh memboyong Media Indonesia ke Gedung Prioritas. Penyajian dan bentuk logo surat kabar ini dibuat seperti Almarhum Prioritas. Kemajuan koran ini, menyebabkan Surya Paloh makin bersemangat untuk melakukan ekspansi ke berbagai media di daerah. Disamping Media Indonesia dan Vista yang terbit di Jakarta, Surya Paloh bekerjasama menerbitkan sepuluh penerbitan di daerah.
Pada umurnya yang masih muda, 33 tahun, Surya Paloh berani mempercayakan bisnis cateringnya pada manajer yang memang disiapkannya. Pasar catering sudah dikuasainya, dan ia menjadi the best di bisnis itu. Lalu, ia mencari tantangan baru, masuk ke bisnis pers. Padahal, bisnis pers adalah dunia yang tidak diketahuinya sebelum itu. Kewartawanan juga bukan profesinya, tetapi ia berani memasuki dunia ini, memasuki pasar yang kelihatannya sudah jenuh. Ia bersaing dengan Penerbit Gramedia Group yang dipimpin oleh Yakob Utama, wartawan senior. Ia berhadapan dengan Kartini Grup yang sudah puluhan tahun memasuki bisnis penerbitan. Ia tidak segan pada Pos Kota Group yang diotaki Harmoko, mantan Menpen RI. Bahkan, ia tidak takut pada Grafisi Group yang di-back up oleh pengusaha terkenal Ir. Ciputra, bos Jaya Group.
Kendati kondisi pasar pers begitu ramai dengan persaingan. Surya Paloh sedikit pun tak bergeming. Bahkan ia berani mempertaruhkan modal dalam jumlah relatif besar, dengan melakukan terobosan-terobosan baru yang tak biasa dilakukan oleh pengusaha terdahulu. Dengan mencetak berwarna misalnya. Ia berani menghadapi risiko rugi atau bangkrut. Ia sangat kreatif dan inovatif. Dan, ia berhasil.
Surya Paloh menghadirkan koran Proritas di pentas pers nasional dengan beberapa keunggulan. Pertama, halaman pertama dan halaman terakhir di cetak berwarna. Kedua, pengungkapan informasi kelihatan menarik dan berani. Ketika, foto yang disajikan dikerjakan dengan serius. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan koran ini dalam waktu singkat, berhasil mencapai sirkulasi lebih 100 ribu eksemplar. Tidak sampai setahun, break event point-nya sudah tercapai.
Ancaman yang selalu menghantui Prioritas justru bukan karena kebangkrutan, tetapi pencabutan SIUPP oleh pemerintah. Terbukti kemudian, ancaman itu datang juga. Koran Prioritasnya mati dalam usia yang terlalu muda. Pemberitaannya dianggap kasar dan telanjang. Inilah risiko terberat yang pernah dialami Surya Paloh. Ia tidak hanya kehilangan sumber uang, tetapi ia juga harus memikirkan pembayaran utang investasi.
Dalam suasana yang sangat sulit itu, ia tidak putus asa. Ia berusaha membayar gaji semua karyawan Prioritas, sambil menyusun permohonan SIUPP baru dari pemerintah. Namun permohonan itu tidak dikabulkan pemerintah. Beberapa wartawan yang masih sabar, tidak mau pindah ke tempat lain, dikirim Surya Paloh ke berbagai lembaga manajemen untuk belajar.
Pers memang memiliki kekuatan, di negara barat, ia dikenal sebagai lembaga keempat setelah legislatif, yudikatif dan eksekutif. Apalagi kebesaran tokoh-tokoh dari berbagai disiplin ilmu atau tokoh-tokoh dalam masyarakat, sering karena peranan pers yang mempublikasikan mereka. Bagaimana seorang tokoh diakui oleh kalangan masyarakat secara luas, kalau ia di boikot oleh pers. Dengan demikian, bisnis pers memang prestisius, memberi kebanggaan, memberi kekuatan dan kekuasaan. Dan, itulah bisnis Surya Paloh.

Senin, 25 April 2011

BAHAN DISKUSI MK TEORI dan ISU PEMBANGUNAN

01.  Pada sebagian besar negara sedang berkembang sejak awal kemerdekaanya sebenarnya telah tumbuh usaha untuk menciptakan komunitas profesional. Usaha itu dilandasi adanya kesadaran bahwa negara tidak lagi menjadi satelit penjajah bila memiliki komunitas yang handal. Bagaimana pun penjajah akan senantiasa menciptakan ketergantungan, khususnya ekonomi dengan berbagai macam dalih, sehingga kemerdekaan yang mereka raih jauh dari kemandirian. Kondisi ini terlihat ketika Indonesia sudah lebih dari 60 tahun merdeka namun kondisi indeks pembangunan manusia masih rendah, pada ururtan ke 111 dari 175 negara. Padahal Indonesia sudah berusaha membuat berbagai kebijakan dan program yang dianggap strategis, di antaranya adalah program pendidikan.

Permasalahan:
a.   Apakah program yang dikemas dalam bidang pendidikan tersebut telah dapat menghasilkan komunitas yang unggul sehingga SDM kita siap bersaing di era global?
b.   Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kondisi profesional dari komunitas tersebut?
c.   Solusi apa yang dapat Saudara berikan untuk mengatasi kekuranagn atau kelemahan dalam mewujudkan komunitas yang profesional?

Untuk mendiskusikan permasalahan ini berikan dukungan data atau rujukan dari sumber yang relevan.




BAHAN DISKUSI MK TEORI dan ISU PEMBANGUNAN

02.    Penyerangan warga Dayak terhadap aparat kepolisian (Detikcom Yogya) dinilai oleh pengamat politik UGM sebagai bukti bahwa polisi tidak mampu menyelesaikan masalah. Ia menyarankan militerlah yang seharusnya turun tangan. “Lihat Kosovo atau Albania, semua itu yang menyelesaikan adalah Nato. Jadi harus militer yang menangani” kata pengamat kepada wartawan usai penandatanganan MoU di UGM tanggal 3-9-2001. Menurut pengamat tersebut, konflik yang terjadi di Kalimantan khususnya di Sampit dan Palangkaraya bukan semata-mata masalah ketertiban biasa, tetapi terkait dengan penegakan konstitusi. Seharusnya bukan polisi yang diturunkan untuk menyelesaikannya. Sebenarnya potensi konflik itu sudah ada sejak lama dan sudah disadari pula oleh pemerintah. Namun konflik ini dinilainya tercecer dari skala prioritas pemerintah sehingga berkembang menjadi seperti itu.
                Pemusnahan sebuah etnis apa pun merupakan kesalahan. Semangat Sumpah Pemuda sudah dihancurkan, orang tidak lagi bisa pindah ke tempat lain di negeri sendiri. Karena itu, saat ini yang terjadi bukan saja disintegrasi bangsa dan negara tetapi juga disintegrasi sosial dan masyarakat. Pengamat ini tidak begitu yakin dengan upaya rekonsiliasi. Menurut dia dalam waktu dekat konflik belum bisa teratasi, kecuali membantu si pengungsi dulu. Tetapi pada saat nanti merka harus kembali. Kalimantan itu kan negeri orang Madura juga. Harus begitu kita berfikir.

Permasalahan:
a.   Mengapa konflik Sampit dan Palu itu dapat terjadi?
b.   Siapa seharusnya yang paling kompeten menangani kasus kerusuhan tersebut dan kerusuhan-kerusuhan di tempat lain?
c.   Solusi apa yang dapat Saudara berikan untuk penanganan dan pencegahan agar kasus kerusuhan seperti itu tidak terjadi lagi baik di tempat yang sama maupun di tempat lain.?

Untuk mendiskusikan permasalahan ini berikan dukungan data atau rujukan dari sumber yang relevan.






BAHAN DISKUSI MK TEORI dan ISU PEMBANGUNAN

03.    Perkembangan pemikiran mengenai koperasi dalam beberapa waktu terakhir ini menarik untuk dikaji. Bila semula koperasi sangat diharapkan untuk mengubah sistem perekonomian, kini justru koperasilah yang seharusnya mampu menyesuaikan diiri dengan perkembangan sistem perekonomian yang terjadi. Kwik Kian Gie (1986) menyatakan bahwa kata “bangun” seperti yang tercantum pada pasal 33 ayat 1 UUD 1945, sebenarnya lebih tepat diartikan sebagai “jiwa” daripada “bentuk”, karena bila koperasi suatu ketika menjadi besar, perbedaan antara koperasi dan bentuk perusahaan lain cenderung hilang. Pemilahan antara pemilik dan manajemen yang terjadi pada perusahaan (non koperasi) pada akhirnya akan dialami oleh koperasi pula. Dengan kata lain tidak cukup alasan untuk membedakan koperasi dengan perusahaan lain.
                Demikian pula Harahap (1987), kata “bangun” itu di samping dapat diartikan sebagai “bentuk” dapat pula diartikan sebagai “struktur”, “jiwa”, dan “semangat” sehingga walaupun suatu perusahaan tidak berbentu koperasi, selama ini pula ia bisa dianggap sejalan dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian di samping terdapat perusahaan yang memiliki bentuk dan struktur koperasi, ada pula perusahaan yang hanya memiliki strukturnya saja.
                Agak berbeda dari dua pemikran di atas, Tobing dan Miraza (KR 5/12/87) mengemukakan bahwa sebuah perusahaan, apa pun bentuknya, sama-sama menghasilkan barang dan menjualnya dengan tujuan meraih keuntungan. Koperasi sebagai suatu perusahaan, tidak bisa mengelak dari keharusan mencari laba dan menjalankan prinsip2 bisnis. Menurut Miraza perbedaan koperasi dengan bentuk perusahaan lainnya hanya terletak pada latar belakang dan tujuan.

Permasalahan:
a.   Berikan argumentasi Saudara terhadap 3 pendapat tentang koperasi tsb dan mana menurut Saudara yang paling benar?
b.   Untuk memperbaiki ekonomi masyarakat (nelayan dan pertani) yang ditengarai sebagai masyarakat miskin, apakah koperasi masih relevan? Dan bagaimana jika selama ini diungkap banyak koperasi yang gulung tikar?
c.   Apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah koperasi sebagai salah satu upaya mengatasi kemiskinan itu tidak gulung tikar atau tetap eksis dan berkembang?

Untuk mendiskusikan permasalahan ini berikan dukungan data atau rujukan dari sumber yang relevan.

BAHAN DISKUSI MK TEORI dan ISU PEMBANGUNAN

04. Sejak tahun 1970-an berbagai upaya pengentasan kemiskinan telah dilakukan, berbarengan dengan realisasi program-program pembangunan nasional, regional, maupun sektoral. Upaya tersebut telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari sekitar 60% menjadi sekitar 11% pada tahun 1977/1978. Tetapi krisis moneter yang terjadi menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia, berdampak pada jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan naik lagi menjadi sekitar 49,5 juta jiwa tahun 1998 dan selanjutnya turun menjadi 37,5 juta jiwa atau 18,2% di pertengahan tahun 1999. Jumlah tersebut hingga saat ini tidak meninjukkan perubahan yang signifikan dan konon jumlah kemiskinan bertambah banyak.
           Penduduk miskin itu secara empirik tersebar dalam semua wilayah dalam suatu daerah dan untuk menemukenali di mana keluarga miskin itu berada sangatlah mudah. Akan tetapi mereka sering kali tidak terdeteksi sehingga terabaikan dalam pengalokasian berbagai program bantuan, yang secara filosofis sebenarnya program itu dirancang untuk mereka. Banyak di antara mereka menjadi bahan pembicaraan dalam berbagai forum diskusi dan kemudian terlupakan ketika action plan mulai dilaksanakan.
            Fenomena kemiskinan di Indonesia rasanya tidak kunjung selesai, meskipun berbagai kebijakan pengentasan kemiskinan sudah dilakukan, seperti: Gardu Taskin, Program JPS, dsb.

Permasalahan:
  1. Siapa sebenarnya orang miskin itu? Berikan argumentasi Saudara?
  2. Jelaskan mengapa program Taskin di Indonesia tidak kunjung selesai dan bahkan jumlah penduduk miskin cenderung terus meningkat.
  3. Bagaimana tanggapan Saudara terhadap pernyataan bahwa orang miskin hanya menjadi objek pembicaraan yang menguntungkan pihak tertentu? Apa saran Saudara terhadap pernyataan tersebut?
  4. Menurut Saudara bagaimana seharusnya menangani program Taskin di wilayah Saudara? Berikan langkah-langkah konkret.

Untuk mendiskusikan permasalahan ini berikan dukungan data atau rujukan dari sumber yang relevan.




BAHAN DISKUSI MK TEORI dan ISU PEMBANGUNAN

05.  Kata pembangunan tidak akan pernah dapat didefinisikan secara memuaskan untuk seluruh negara di dunia. Namun demikian andaikata kita berbicara secara umum, yang dimaksud dengan pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan secara sosial ekonomi dan manusia senantiasan mempunyai pandangan yang berbeda mengenai apa yang dirasakan/dialami dengan apa yang diharapkan. Pembangunan merupakan suatu konsep yang memuat multi maknawi dan berdimensi kompleks, meskipun hanya sebuah kata namun kandungan arti yang dibawanya memuat substansi yang sangat mendalam, sarat dengan interpretasi optimistik dan pesimistik. Hal ini akan semakin mudah dimengerti munculnya asumsi bahwa konsep pembangunan mudah dikatakan namun susah untuk membuat batas-batas tegas dalam defininya.

Permasalahan:
a.   Apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di atas? Jelaskan jawaban Saudara dengan memberikan argumentasi.
b.   Pembangunan yang didasarkan pada kemandirian diri sendiri melalui isolasi, dianggap sebagai pembangunan yang secara ekonomis kurang baik bila dibandingkan dengan pemba-ngunan yang mengikutsertakan diri dalam perdagangan internasional. Jelaskan pendapat tersebut.
c.   Apa yang dimaksdu dengan pembangunan Indonesia dan bagaimana caranya agar pembangunan itu dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.


Untuk mendiskusikan permasalahan ini berikan dukungan data atau rujukan dari sumber yang relevan.

TEORI HARROD DAMARD

TEORI DEPENDENSI

TEORI WW ROSTOW

PENGERTIAN PEMBANGUNAN

UKURAN PEMBANGUNAN

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIC

BUDAYA ORGANISASI

KEBIJAKAN PUBLIC

THE OLD PUBLIC ADMINISTRATION

PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIC

PATOLOGI DAN REFORMASI SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA

Minggu, 24 April 2011

KEPEMIMPINAN

MANAJEMEN KINERJA

PERKEMBANGAN ADMNITRASI PUBLIC

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIC

RERFORMASI ADMINISTRASI PUBLIC

<iframe src="https://docs.google.com/present/embed?id=dhk37n92_2158zsz55fm" frameborder="0" width="410" height="342"></iframe>

TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

PERBANDINGAN OPA, NPM DAN NPS


PERBANDINGAN OPA, NPM, DAN NPS

Dalam paradigma OPA, gerakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik telah diprakarsai oleh Woodrow Wilson. Ia menyarankan agar administrasi publik harus dipisahkan dari dunia politik (dikotomi politik-administrasi). Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para administrator untuk mempratekan sistem nepotisme dan spoil. Karenanya ia mengeluarkan doktrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislatif (politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau mengimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator publik selalu mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis sehingga mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajakan Wilson untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam pemerintahan yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diparkasai oleh Taylor pantas untuk diperhatikan. Metode keilmuan, menurut Taylor, harus menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah, dan didorong untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam membangun prinsip manajemen yang profesional.

Max Weber, ahli hukum dan sosiologi terkenal, sekaligus filsuf ilmu sosial yang beken, juga mengajak untuk melaksanakan prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin kompleks maka dibutuhkan atau diperlukan suatu institusi yang rasional yaitu “birokrasi”. Dalam birokrasi ini diatur perilaku yang tidak saja produktif tetapi juga loyal terhadap pimpinan dan organisasi. Perilaku yang “impersonal” dan “saklek” harus diterapkan. Hubungan kekeluargaan, kelompok sosial dan sebagainya tidak mendapat tempat untuk dipertimbangkan dalam birokrasi. Karenanya, para anggota organisasi harus ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki, dikembangkan dan dituntun dengan peraturan yang jelas dalam menjalankan tugasnya.
           
Dalam perkembangannya, doktrin OPA di atas menghadapi masalah (fallacies). Misalnya, Weber yakin sosok organisasi birokrasi sangat ideal, padahal dalam perkembangannya bisa berubah sifatnya menjadi sangat kaku, bertele-tele, dan penuh red-tape (Weber fallacy). Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one best way of doing the task) untuk melakukan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan (Taylor fallacy). Demikian pula, Wilson cenderung melihat dunia administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak politis, padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).

           

Meski demikian, dari paradigma OPA ini dapat dipelajari bahwa untuk membangun birokrasi diperlukan profesionalitas, penerapan aturan dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan perilaku yang mendorong efisiensi dan efektivitas.

            Pembangunan birokrasi juga dapat dipelajari dari paradigma NPM yang muncul di Inggris, New Zealand, USA dan Kanada. Istilah management pada NPM diberikan lantaran istilah ini lebih agresif dari istilah administration (Vigoda, 2003). Paradigma ini didasarkan pada teori pasar dan budaya bisnis dalam organisasi publik (Vigoda, 2002). Paradigma tersebut muncul tidak hanya karena adanya krisis fiskal pada tahun 1970an dan 1980an, tetapi juga karena adanya keluhan bahwa sektor publik terlalu besar, boros, inefisien, merosotnya kinerja pelayanan publik, kurangnya perhatian tehadap pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah (Hope, 2002).

            Ketika muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1) penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak, (4) penerapan mekanisme kompetisi seperti melakukan kontrak keluar, dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood, 1991).

            Dalam perkembangannya, muncul tujuh doktrin (Osborne & McLaughlin, 2002), delapan doktrin (Martin, 2002), sembilan doktrin (Kasements, 2000), dan bahkan sepuluh doktrin sebagaimana yang disampaikan dalam Reinventing Government (Gaebler & Osborne, 1992). Beberapa tahun kemudian, muncul lagi model NPM yang lebih variatif misalnya model efficiency drive, downsizing and decentralization, in search of excellence dan public service orientation (Ferlie, et.al., 1996). Berbagai variasi ini memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para ahli dalam memodernisasikan sektor publik (Pollit, 1995).

            Dari berbagai doktrin NPM di atas, dapat dipelajari bahwa proses reformasi birokrasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci (Kettl, 2000). Pertama, menyangkut produktivity yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil dengan biaya yang lebih sedikit; Kedua, marketization, yaitu bagaimana pemerintah menggunakan insentif bergaya pasar agar melenyapkan patologi birokrasi; Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah dapat berhubungan dengan warga masyarakat secara lebih baik agar program-programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat; Keempat, decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat program yang responsif dan efektif dengan memindahkan program ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau memindahkan tanggungjawab instansi pemerintah ke para manajer lapangan yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat, atau memberi kesempatan bagi mereka untuk melakukan adaptasi terhadap kebutuhan warga masyarakat; Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan; dan Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya.

            Hasil nyata dari proses penerapan NPM tersebut mencakup lima aspek, yaitu : (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi seperti peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri seperti iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas, hubungan sosial dan kelompok (Ferlie, et.al., 1996; Flynn, 2002).

            Dalam perkembangannya, NPM menuai banyak kritikan karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh kepentingan pribadi (self-interest) sehingga konsep seperti public spirit, public service dan sebagainya terabaikan (Kamensky, 1996 : 251). Hal yang demikian tidak akan mendorong proses demokrasi. Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial (Harrow, 2000). Munculnya NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen selfgovernance dan fungsi administrator sebagai servant of public interest (Box, 1999), bahkan kalau tidak hati-hati, justru akan meningkatkan korupsi dan menciptakan orang miskin baru (Haque, 2007).

            Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM adalah bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat azas, orientasi pada proses dan input (Rosenblomm & Kravchuck, 2005).

            King dan Stivers (1998) dalam buku Government is Us, mendesak agar para administrator melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan) sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. Keterlibatan warga masyarakat harus dilihat sebagai “investasi” yang signifikan.

            Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up action (Stewart, et.al., 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi penonton. Semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggungjawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat. “Citizens First” harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt & Gray, 1998). Isu tentang justice, equity, participation dan juga leadership yang tidak diperhatikan dalam buku Reinventing Government (Osborne & Gaebler, 1992), justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003). Paradigma ini sejalan dengan prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswamy (2004) sebagai sumber energy organisasi di era demokrasi, karena dapat menjamin hak, kebutuhan dan nilai-nilai warga masyarakat dan bukan kebutuhan institusi.

            Ada 7 (tujuh) prinsip NPS (Denhardt & Denhardt, 2003) yang berbeda dari OPA dan NPM. Pertama, peran utama dari pelayan publik adalah membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan masyarakat ke arah yang baru; Kedua, administrator publik harus menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai kepentingan publik; Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsif melalui upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif; Keempat, kepentingan publik lebih merupakan agregasi kepentingan pribadi para individu; Kelima, para pelayan publik harus memberikan perhatian, tidak semata kepada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan peraturan perundangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standard profesional dan kepentingan warga masyarakat; Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibatakan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang menghargai semua orang; dan Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen memberikan kontribusi terhadap masyarakat, daripada oleh manajer wirausaha yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.

            Pelajaran penting yang dapat ditimba dari paradigma NPS ini adalah bahwa birokrasi harus dibangun agar dapat memberi perhatian kepada pelayanan masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak demokratis, memperhatikan norma, nilai, dan standard yang ada, dan menghargai masyarakat. Birokrasi harus berubah orientasinya yaitu dari paradigma constitutionalism ke paradigma communitarianism (Fox & Miller, 1995), atau dari model institution-centric service ke citizen-centric governance (Prahalad, 2005). Selanjutnya dalam rangka mengimplementasikan paradigma tersebut, perlu diterapkan pola citizen-centered collaborative public management (Cooper, at.al., 2006), asalkan tidak ada tindakan birokrasi yang memanipulasikan partisipasi masyarakat (Yang & Callahan, 2007).










Tabel 1.
Perbandingan Tiga Perspektif dalam Administrasi Publik

Element
Old Public
Administration
New Public Management
New Public Service
Dasar
Epistemologi
Teori Politik
Teori Ekonomi
Teori Demokrasi,
Beragam pendekatan
Konsep Public
Interest
Sesuatu yang
Diterjemahkan secara politis dan tercantum
dalam aturan
Kepentingan publik
Mewakili agregasi
Kepentingan individu
Kepentingan
publik merupakan
hasil dialog nilai-nilai
Siapa yang
dilayani
Klien dan konstituen
(Clients & Constituents)
Pelanggan
(Customers)
Warga negara
(Citizens)
Peran
Pemerintah
Mengayuh (mendesain
dan melaksanakan
Kebijakan yang
terpusat pada tujuan
tunggal dan ditentukan
secara politik)
Mengarahkan (ber-
tindak sebagai
katalis untuk
mengembangkan
kekuatan pasar)
Melayani (melakukan negosiasi dan menjadi perantara beragam
kepentingan di
masyarakat dan
membentuk nilai
bersama)
Rasionalitas dan
Model perilaku
manusia
Rasionalitas sinoptis,
Manusia administratif
Rasionalitas teknis
dan ekonomis,
“economicman”
pengambilan
keputusan yang
self-interested
Rasionalitas
Strategis atau formal,
Uji rasionalitas
Berganda (politis,
Ekonomis, dan
organisasional
Akuntabilitas
Menurut hierarkhi
administratif
Kehendak pasar
yang
merupakan hasil
keinginan customers
Banyak dimensi;
Akuntabilitas pada
Nilai, hukum,
Komunitas, norma
Politik, profesionalisme,
Kepentingan citizen
Diskresi
Administrasi
Diskresi terbatas pada
Petugas administratif
Berjangkauan luas
Untuk mencapai
Sasaran
entrepreneurial
Diskresi diperlukan
Tetapi bertanggung-
jawab dan bila
terpaksa
Struktur
Organisasi
Organisasi birokratis,
Kewenangan top-down
Organisasi publik
terdesentralisasi
Struktur kolaboratif
antara
kepemimpinan
eksternal dan internal
Mekanisme
Pencapaian
Sasaran
Kebijakan
Melalui program yang
diarahkan oleh agen
Pemerintah yang ada
Melalui pembentukan
Mekanisme dan
Struktur intensif
Membangun koalisi
antara agensi publik,
non-profit dan swasta

Dasar Motivasi
Perangkat dan
administrator
Gaji dan tunjangan,
disertai perlindungan
bagi pegawai negeri
Semangat wirausaha,
Keinginan ideologis
Untuk mengurangi
Ukuran pemerintah
Pelayanan kepada
masyarakat,
keinginan untuk
memberikan
kontribusi bagi
masyarakat
Sumber : Denhardt & Denhardt, 2003,

           

Masing-masing paradigma telah memberikan doktrin atau nasihat yang berbeda-beda dalam rangka membangun birokrasi. Perbedaan doktrin ini sebenarnya dipengaruhi oleh perbedaan konteks dan tipe sektor atau bidang yang ditangani. Karena itu, pemaksaan penerapan satu paradigma yang sama untuk semua jenis bidang kehidupan publik, jelas akan sangat kontraproduktif.

            Di bidang politik dan hukum, pemerintah harus bertindak tidak pandang bulu, aturan dan prosedur tidak boleh dilanggar, dan harus bertindak tegas, karenanya, doktrin paradigma OPA lebih sesuai. Dalam bidang ekonomi, pemerintah harus berjiwa enterpreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan masyarakat. Karena itu, penerapan NPM nampak lebih tepat, dan pemaksaan penerapan OPA akan menimbulkan masalah. Selanjutnya dalam mempromosikan demokrasi dan pemerataan, pemerintah harus mengikutsertakan masyarakat sebagai warga negara yang berkepentingan, dan memperhatikan nilai-nilai mereka. Dalam konteks ini, penerapan NPS akan lebih efektif.

            Tuntutan akademis ini kiranya memberikan gambaran tentang postur birokrasi yang dibutuhhkan dalam masing-masing sektor atau bidang kehidupan. Postur birokrasi menyangkut sistem birokrasi maupun birokratnya harus benar-benar sesuai dengan karakteristik bidang atau sektor yang ada. Mungkin terabaikannya pembangunan birokrasi selama ini disebabkan oleh adanya kesalahan atau kelalaian dalam memilih dan menerapkan doktrin-doktrin tersebut.