Selasa, 07 Juni 2011

MANAJEMEN PUBLIK 2

GOOD GOVERNANCE

MAKLUMAT PELAYANAN


MAKLUMAT PELAYANAN SEBAGAI REFORMASI
MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

Oleh:
Dr. Esa Wahyu Endarti, M.Si. §

Pendahuluan
Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah kian gencarnya upaya untuk mereformasi birokrasi, baik itu terkait dengan struktur maupun proses. Hal ini bisa dipahami karena lemahnya birokrasi memberikan sumbangan bagi kegagalan tata pemerintahan (governance). Birokrasi seringkali menampilkan wajah ”angker”-nya; keberadaannya yang dimaksudkan untuk menghasilkan dan memberikan barang dan jasa publik, pada kenyataannya belum mampu menghasilkan kinerja terbaiknya. Aspek-aspek seperti ketepatan, kecepatan, kualitas, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas, ternyata masih jauh dari apa yang diharapkan oleh publik. Birokrasi sebagai kendaraan (vehicle), kemudian dipandang belum mampu mencitrakan dirinya sebagai penjaga kepentingan publik.
Hal ini kemudian semakin menguatkan pandangan publik bahwa birokrasi bukan menjadi bagian dari solusi (part of solution) atas masalah-masalah publik. Begitu banyak persoalan yang belum tertangani secara tuntas oleh birokrasi, baik itu politik, ekonomi, sosial, dan budaya semakin menguatkan pandangan diatas. Malahan, birokrasi dicap sebagai bagian dari masalah (part of problem) dalam suatu tata pemerintahan (governance).
Selain pembenahan struktur dan sistem, reformasi juga ditujukan pada cara pandang (paradigma) yang dianut oleh birokrasi. Perubahan yang radikal dari paradigma birokrasi konvensional ke arah manajemen publik (new public management) maupun new public service, seakan menjadi penegasan dari upaya reformasi. Kalau dulu birokrasi masih dipandang sebagai satu-satunya aktor tunggal dalam memberikan pelayanan kepada publik, maka dewasa ini anggapan tersebut digugat karena masih ada pelaku yang lain yakni publik dan dunia usaha. Kalau dulu kinerja masih berorientasi input dan proses, maka dewasa ini telah terjadi pergeseran ke arah hasil (result). Kalau dulu pelayanan masih menggunakan sistem birokrasi yang amat birokratis, maka sekarang dikenalkan sistem kemitraan dan interaksi diantara aktor-aktor. Semua itu kemudian bermuara pada sistem akuntabilitas hasil, bukan akuntabilitas input atau proses.
Hanya saja, dalam rentang waktu yang cukup lama, proses reformasi ternyata belum segera menemukan relevansinya. Masih lambannya pelayanan yang diberikan, pengurasan anggaran ketika publik berhadapan dengan birokrasi, minimnya tingkat produktivitas barang dan jasa, kian akutnya persoalan KKN menjadi evidens bahwa upaya reformasi masih belum memberikan perubahan yang signifikan. Angin segar yang dibawa melalui proses reformasi ternyata hanya berjalan sesaat, berjalan lamban, kemudian lenyap secara perlahan-lahan.
Dalam konteks reformasi pelayanan publik, salah satu upaya yang sudah dilakukan dan sedang giat-giatnya diupayakan adalah mengenalkan konsep Maklumat Pelayanan (Citizen’s Charter). Tuntutan yang ada yakni pemerintah harus mampu memberikan pelayanan yang lebih baik dengan ongkos (cost) yang lebih minim. Pilihannya jelas, yakni pemerintah harus meningkatkan produktivitas dan kualitas pelayanan atau mengurangi beban layanan yang diberikan.
Konsep dan Tujuan Maklumat Pelayanan
Menurut McGuire (2001), Maklumat Pelayanan merupakan suatu strategi penjamin kualitas yang mana sasaran eksplisitnya adalah untuk memperbaiki responsivitas penyedia pelayanan publik kepada para pengguna atau klien-nya. Hal ini karena Maklumat Pelayanan memandang pengguna layanan sebagai klien dan berfokus pada kepuasan pelanggan.
Maklumat Pelayanan memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan, baik itu warga negara maupun pegawai publik dalam memberikan pelayanan. Melalui proses konsultasi maka akan dijamin responsivitas birokrasi dan lebih akuntabel kepada pemerintah dan masyarakat melalui monitoring kinerja. Ide dasar dari Maklumat Pelayanan adalah bahwa pelanggan diinformasikan terlebih dahulu tentang pelayanan yang diharapkan, dibutuhkan, dan dituntut oleh otoritas publik.
Dengan demikian, Maklumat Pelayanan merupakan wujud dari sovereinitas konsumen dalam penyediaan layanan publik (Pollitt 1994; Walsh 1994). Ada dua pendekatan menyangkut hal itu. Pertama adalah membuat para penyedia (provider) menjadi lebih responsif kepada konsumen serta lebih akuntabel kepada pemerintah dan masyarakat melalui proses monitoring kinerja. Pendekatan kedua adalah membuat para penyedia layanan menjadi lebih responsif kepada konsumen dengan menciptakan kompetisi diantara sesama penyedia pelayanan publik. Program Maklumat Pelayanan menggabungkan beberapa inisiatif seperti menetapkan standar pelayanan, mekanisme konsultasi, penyediaan informasi kepada warga negara dan klien, mekanisme pengaduan (complaint) dan quality awards.
Tujuan dari Maklumat Pelayanan adalah untuk memberikan kepuasan bagi warga negara (citizens) melalui perbaikan kualitas pelayanan publik. Maklumat Pelayanan membantu individu untuk secara jeli mengetahui untuk apa suatu organisasi ada, apa yang diharapkan dari pelayanan yang diberikan, bagaimana melakukan kontak dengan warga negara dan bagaimana memberikan solusi jika terjadi kekeliruan dalam pelayanan yang diberikan. Untuk para penyedia layanan, Maklumat Pelayanan memberikan kejelasan pelayanan yang diberikan.
Ringkasnya, Maklumat Pelayanan dimaksudkan untuk 1) meningkatkan legitimasi demokrasi; 2) memperkuat hak-hak warga negara; 3) meningkatkan pengaruh warga negara dalam proses pelayanan; 4) mengelola ekspektasi pelanggan; 5) memberikan pilihan (choice) bagi pelanggan; 6) memperkuat kinerja penyedia layanan; dan mengembalikan rasa percaya dalam sektor publik (KRILA, 2002).





Pengalaman Beberapa Negara
Inggris
Inggris memiliki histori yang paling panjang dalam mereformasi manajemen publiknya. Program Citizen’s Charter yang digagas pada tahun 1991 pada masa pemerintahan Perdana Menteri John Major merupakan terobosan atau reformasi administrasi yang paling radikal. Upaya ini mengikuti proses reformasi sebelumnya yang diprakarsai oleh Margaret Thatcher dengan the Financial Management Initiative (FMI).
Citizen’s Charter yang dikenalkan sebagai program 10 tahun, memiliki 6 prinsip pelayanan kepada publik yang kemudian dikenal sebagai ”Six Whitehall Standards”. Keenam prinsip tersebut adalah:
1.      Penetapan standar (setting standards);
2.      Informasi dan keterbukaan (information and openness);
3.      Pilihan dan konsultasi (choice and consultation);
4.      Courtesy and helpfulness;
5.      Menempatkan segala sesuatu dengan benar (putting things right); dan
6.      Value for money.
Sejenak kalau melihat keenam prinsip diatas, nampaknya aspek kualitas, pilihan, standar, dan value for money (Bynoe 1996) menjadi nilai utama yang diusung. Maklumat ini diterapkan di seluruh sektor publik, dan untuk mendukung keberhasilan program, maka penghargaan Charter Mark diintroduksi. Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh negara-negara OECD seperti Amerika, Kanada, Prancis, Belgia, dan Italia (Osborne dan Plastrik 1997: 195). Untuk memenangkan penghargaan ini, dalam memberikan pelayanan publik, setiap lembaga harus mampu memenuhi keenam prinsip tersebut, serta memperhatikan aspek kepuasan pelanggan maupun perbaikan kualitas pelayanan. Penyedia layanan kemudian bisa mengajukan kembali Charter Marks setelah tiga tahun. Dalam tahun pertama, sebanyak 36 Charter Marks dianugerahkan dan pada tahun 1996 jumlahnya mencapai 417 buah (Keeble 1996).
Yang patut ditiru adalah program ini mendapatkan dukungan politik yang begitu luas. Unit baru dibentuk di dalam Office for Public Service yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan program Maklumat Pelayanan. Unit ini memperkenalkan praktek-praktek terbaik, memonitor dan melaporkan perkembangan, serta mengelola skema Charter Mark (Bynoe 1996; Keeble 1996).
The Audit Commission kemudian mengembangkan indikator-indikator bagi otoritas lokal, dan NHS mengimplementasikan kebijakan Maklumat (Bynoe 1996). Sektor privat juga memiliki pengaruh langsung. Unit Citizen’s Charter sangat dekat dengan Prime Minister’s Charter Advisory Panel. Enam anggota panel diambil dari sektor publik dan privat (Keeble 1996). Maklumat Pelayanan dikenal luas dalam konteks pelayanan publik tetapi dampak publik lebih sulit untuk dinilai. Lebih dari 40 Maklumat Nasional dan 10.000 Maklumat Daerah telah dikembangkan sejak tahun 1991 (OECD 1999 UK Perspective). Kontribusinya bagi perbaikan pelayanan publik dengan mengubah fokus kepada penerima layanan telah diakui oleh the National Audit Office, Public Service Committee dan National Consumer Council Survey.
Akan tetapi Maklumat Nasional umumnya dipublikasikan tanpa ada konsultasi publik yang sistimatis (Bynoe 1996). The National Consumer Council mengidentifikasi bahwa konsultasi yang efektif dengan pengguna sebagai isu tunggal yang paling penting bagi dokumen Maklumat. Kritik diajukan karena standar yang digunakan lebih berorientasi pada penyedia layanan ketimbang kepada konsumen.
Sebuah evaluasi dari The Institute For Public Policy Research kemudian menjadi penting untuk diperhatikan, dan telah mengajukan program baru yang berdasarkan pada 6 prinsip hak sosial yakni:
1.      Perlakuan yang adil (fair treatment);
2.      Entitlement;
3.      Partisipasi (participation);
4.      Keterbukaan (openness);
5.      Akuntabilitas dan kooperasi (accountability and co-operation); dan
6.      Akuntabilitas publik yang efektif (effective public accountability) (Bynoe 1996).
Kemudian di tahun 1996, seiring terpilihnya Tony Blair sebagai Perdana Menteri, telah terjadi pergeseran prinsip dari “value for money” kepada prinsip “partnerships” (Richards 1996). Setelah setahun dalam kajian, Citizen’s Charter kemudian diganti menjadi ”Service First” yang mencakup seluruh sektor publik. Tim audit dibentuk untuk memonitor kualitas serta suatu kajian terhadap seluruh Maklumat yang ada merupakan bagian dari paket ini. Sembilan prinsip dalam pemberian pelayanan publik kemudian menggantikan 6 prinsip dari Whitehall Standards. Kesembilan prinsip tersebut adalah:
1.      Menetapkan standar pelayanan (set standards of service);
2.      Menjadi terbuka dan menyiapkan informasi yang memadai (be open and provide full information);
3.      Konsultasi dan terlibat (consult and involve);
4.      Memberikan akses dan promosi pilihan (encourage access and promotion of choice);
5.      Perlakuan yang sama untuk semua orang (treat all fairly); 
6.      Tempatkan segala sesuatu pada tempatnya, bahkan ketika terjadi kekeliruan (put things right when they go wrong);
7.      Penggunaan risorsis secara efektif (use resources effectively);
8.      Inovasi dan perbaikan (innovate and improve); dan
9.      Bermitra dengan penyedia pelayanan yang lain (work in partnership with other providers).
Dari sembilan prinsip di atas, nyata terlihat bahwa ada beberapa konsep kunci yang diusung yakni kemitraan, responsivitas kepada pengguna, aksesibilitas, penggunaan risorsis secara lebih efektif, serta perlakuan yang adil dan inovasi. Maklumat yang direvisi ini mendapat pengaruh dari pengalaman yang ada di negara lain. The Service First Unit nyatanya menggunakan panduan Maklumat Australia sebagai referensi dalam mengembangkan program Maklumat yang baru (Service First Newsletter Issue, 2 July 1998).
Amerika: Customer Service Plans – ‘Putting Customers First’
Kalau di Inggris dikenal dengan Citizen’s Charter, di Amerika lebih dikenal sebagai “Customer Service Plans”. Meski demikian, ada beberapa teknik yang similar. Amerika melakukan reformasi dalam kerangka NPM yakni pada era Presiden Clinton dengan dikeluarkannya National Performance Review (NPR) di tahun 1993. Bahkan oleh Kettle (1994), NPR dipandang sebagai satu dari tiga reformasi yang paling penting di abad 20. Serupa dengan di Inggris, ada beberapa fase perkembangan. Kettl (1998) mengidentifikasi tiga fase reformasi. Fase I “Reformasi Proses Pemerintah” di tahun 1994 yang berfokus pada implementasi. Sebuah Executive Order yakni semua agen federal mengembangkan rencana pelayanan pelanggan merupakan bagian dari paket reinvensi. Akan tetapi, rasionalisasi (downsizing) pemerintah merupakan tema yang paling dominan dalam fase ini. Fase II ‘Questioning What Government Should Do’. Sedangkan fase III yakni “Reinvigorating the Reinvention’, dimulai pada tahun 1998, mengarahkan fokus kepada pengukuran outcome dan sebagainya.
Executive Order yang dikeluarkan oleh Presiden Clinton pada tahun 1993 menegaskan bahwa semua lembaga federal mengembangkan rencana pelayanan, tetapi rasionalisasi (downsizing) dan penghematan ongkos menjadi keystone dari NPR. Setiap institusi membangun standar pelayanan dan menggunakan survey pelanggan. NPR terpisah dari sistem manajemen berbasis kinerja yang diintroduksi oleh pemerintah mengikuti seruan GPRA oleh Kongrers di tahun 1993.
Berbeda dengan di Inggris, NPR berkembang dari pemikiran Osborne dan Gaebler’s (1992) yang tertuang dalam buku Reinventing Government dengan 10 prinsip pemerintah yang wirausaha. NPR memberikan bukti tentang adopsi berbagai teknik terbaik di sektor privat, termasuk dalam konteks manajemenya. Menetapkan standar pelayanan dan membuat organisasi lebih responsif kepada pelanggan telah menggeser fokus dari proses internal kepada orang yang dilayani, yakni kepada kebutuhan warga negara (Kettl 1998). Berbeda dengan Charter Mark di Inggris, Hammer Awards berkaitan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam NPR. The Internal Revenue Service (IRS) dan US Postal Service merupakan dua lembaga yang memublikasikan standar pelayanannya. Pada tahun 1997, ada 4000 standar untuk 570 lembaga federal (Gore 1997). NPR diyakini telah merubah pendekatan kepada warga negara.
Australia: Government Service Charters – ‘Putting Service First’
Seperti di Inggris dan Amerika, ada beberapa fase reformasi manajemen publik di Australia. Untuk mencapai pelayanan yang lebih efektif dan efisien, pergeseran mendasar dari akuntabilitas pengeluaran anggaran ke arah akuntabilitas hasil telah menjadi komitmen. Responsivitas dicapai melalui strategi untuk mengubah fokus pemberian layanan kepada orientasi pelanggan, termasuk menetapkan standar kualitas untuk pelayanan publik, benchmarking, dan pengukuran kinerja (DoF 1994; OECD 1996). Government Service Charters tidak diintroduksi hingga tahun 1997.
Manajemen kinerja telah menjadi titik sentral dari reformasi manajemen publik di Australia. The Financial Management Improvement Programme (FMIP) dikenalkan di tahun 1994 dimana sebagian merupakan pemodelan dari FMI yang ada di Inggris. Pada fase pertama, fokus diarahkan pada perencanaan korporat dan penganggaran program. Upaya untuk mengkaitkan evaluasi program dan monitoring kinerja dengan pelaporan anggaran terhalang oleh tidak memadainya indikator-indikator kinerja, khususnya untuk aspek kualitas (MAB–MIAC 1992).
Fase kedua mengubah fokus evaluasi dari monitoring internal kepada audit eksternal. Signifikansi dari fase ini adalah dibentuknya suatu komite yang membangun kerangka monitoring kinerja terkait dengan pelayanan masyarakat. Dalam serangkaian pelaporan semenjak 1995, the Productivity Commission yang bertindak sebagai sekretariat komite, telah membangun indikator-indikator kinerja termasuk kualitas dan melaporkan perbandingan kinerja setiap negara bagian (state).
Putting Service First merupakan topik dari program Service Charter yang diumumkan oleh Perdana Menteri di tahun 1997. Semua lembaga persemakmuran yang bersentuhan langsung dengan publik diminta untuk mengidentifikasi “pelanggan” mereka dan membangun sebuah Service Charter. Implementasinya didelegasikan kepada Minister for Customs and Consumer Affairs serta the Department of Industry, Science and Tourism. Maklumat dimaksudkan untuk memberikan standar pelayanan kepada pelanggan dan stakeholders, serta memungkinkan terjadinya kompetisi dan benchmark untuk mengukur kualitas pelayanan (DIST 1997a). Putting Service First – Principles for Developing a Service Charter menetapkan 9 prinsip untuk mengembangkan, memonitor, dan mengkaji Service Charters. Tiga prinsip utama serupa dengan yang diusung di Inggris dan Amerika, yakni:
1.      Ada suatu pernyataan yang jelas kepada pelanggan akan standar pelayanan yang diharapkan;
2.      Ada suatu pernyataan yang jelas kepada pelanggan menyangkut siapa yang mesti bertanggung jawab manakala pelayanan tidak mampu dilakukan sesuai dengan standar yang dijanjikan;; dan
3.      Panduan kepada pelanggan misalnya bagaimana menggunakan mekanisme pengaduan jika terjadi sesuatu di luar kesepakatan yang dibuat.
Service Charters dimaksudkan untuk membantu organisasi untuk berfokus pada output dan membangun kriteria kinerja (MAB 1997). Kemajuan Maklumat, mekanisme pengaduan, serta kinerja harus disertakan dalam laporan tahunan kepada Parlemen. Panduan yang rinci disiapkan oleh the Service Charter Implementation Unit untuk membantu para agen dalam mengembangkan Service Charters dengan menyiapkan beberapa contoh Maklumat di Australia dan Inggris. Semua agen melakukan audit kinerja eksternal setiap tiga tahun, namun secara tahunan dilaporkan kepada the Department of Finance and Administration. Selanjutnya DoFA menyiapkan laporan secara keseluruhan kepada Perdana Menteri.
Perkembangan juga dipengaruhi oleh gagasan dari luar negeri dan sekor privat. Citizen’s Charter dan Customer Charter yang dibuat oleh AAMI menjadi studi kasus dalam panduan. The Department of Finance and Administration telah menjadi partisipan aktif dalam proyek OECD dan studi komparasi (PUMA 1994, 1996, 1997). The Society of Consumer Affairs Professionals dan TARP, sebuah pemimpin konsultan privat di Amerika juga memiliki pengaruh dalam pengembangan panduan dan paket-paket pelatihan. Mereka mengidentifikasi prinsip terbaik bagi pencapaian kualitas dalam pelayanan pelanggan berdasarkan pada penelitian sektor privat (MAB-DIST 1997).  Maklumat Pelayanan yang dimiliki AAMI yang diperkenalkan di tahun 1996 merupakan maklumat pertama yang ada dalam sektor privat.
Keseluruhan laporan di bulan November 1999 melaporkan 125 Maklumat yang telah diselesaikan (88% dari total) tetapi hanya 44% yang melaporkan kinerja dalam Laporan Tahunan (Ellison 1999). Tidak terkejut, karenannya, jika standar pelayanan dalam Portofolio Maklumat masih kabur. Sebaliknya Agency Charters cenderung memiliki standar yang lebih eksplisit. Standar berkaitan dengan kualitas proses (bagaimana pelayanan disiapkan) ketimbang kualitas layanan yang diberikan (outputs). Service Charters merupakan codes of conduct ketimbang penjamin layanan.
Perbandingan Maklumat Pelayanan di Inggris, Amerika, dan Australia
Dimensi Perbandingan
Inggris
Amerika
Australia
Tata Pemerintahan
Westminster’
Demokrasi Parlementer dalam sistem unitary
Pemerintah
Akuntabilitas Parlementter

Washington’
Republik dalam sistem federal

Bill of Rights & Constitution
Akuntabilitas Bersama

Washminster’
Demokrasi Parlementer di dalam sistem federal
Konstitusi
Akuntabilitas Parlementer

Fase Reformasi Manajemen Publik

Fase I: Efisiensi dan Efektivitas
(1977–88)
pemerintahan Thatcher
FMI


Fase II : Model Pasar (1988–96)
Pemerintahan Thatcher & Major


Fase III: Kemitraan ( Partnership) (1996+)
Pemerintahan Blair
Memodernisasi Pemerintah

Phase I : Implementasi
1993 NPR (Eksekutif)
1993 GPRA (Eksekutif & Kongres)
Pemerintahan Clinton

Fase II: Performance Review 1994–8
Pemerintahan Clinton

Fase III: Kemitraan untuk Mewirausaha Birokrasi
Pemerintahan Clinton 1998
Fase I: Manajemen Korporat 1984–93
Pemerintahan Hawke
FMIP & Programme Budgeting


Fase II: Manajemen Kontrak 1993–6
Pemerintahan Keating
National Competition Policy
Fase: III Contestability
1996+)
Pemerintahan Howard Manajemen Finansial
Contestability services
Benchmarking sektor privat

Impelementasi
Koordinasi Institusi

Top-Down
Treasury & Cabinet Of.fice (Of.fice of Public Service)

Bottom-up
Executive (NPR)
Of.fice of Management & Budget

Top-Down & Bottom-up
Department of Finance
Management Advisory Board Management
Improvement Advisory Committee

Bahasa yang digunakan

Fase I (1977–8)
‘more for less’


Fase II (1988–96)
‘make the managers manage’

Fase III (1997+)
‘partnerships’

Fase I (1994)
‘works better, costs less’


Fase II (1994–8)
‘what government should do’

Fase III (1998+)
‘search for political relevance’

Fase I (1984–93)
‘managing for results’
‘let the managers manage’

Fase II (1993–6)
‘managing for performance’

Fase III (1996+)
‘best practice . nancial management’

Monitoring Kinerja

FMIP & Next Steps
Fokus kepada effisiensi & outputs

GPRA fokus pada outputs

FMIP fokus pada results (outputs & outcomes)
Agencies (Fase I)
Agencies & external (Fase II)
Outputs (Fase III)

Strategi yang digunakan

Citizen Charter (1991–7)
Service First (1997 +)

Customer Service Plans (1994 +)

Tidak ada  prakarsa terpusat 1983–96
Government Service Charters 1997 +)
(namanya dirubah menjadi Client
Service Charters pada Juni 2000)

Dukungan Politik

White Paper
Citizen Charter yang diintroduksi oleh Perdana Menteri John Major
Service First  sebagai prakarsa dari Duchy Lancaster

Presidential Order
NRP yang dikemukakan oleh Wakil Presiden Al Gore

Ministerial Policy Statement
Service Charters dikemukakan oleh Minister of Consumer Affairs

Standar Pelayanan Monitoring Kinerja

40 Maklumat nasional dan 10,000 Maklumat lokal
Ya
Audit Commission mempublikasikan indikator untuk otoritas lokal

570 agensi dan 4,000 Standard

Ya
Benchmarking menggunakan ACSI sejak 1998
125 agensi  dan program Maklumat
Ya
Laporan Tahunan Agensi

Pelaporan Kinerja
Survei Pelanggan
Mekanisme Pengaduan

Ya
People’s Panel
Rekomendasi dari Task Force akan
Pengaduan (1995) yang diadopsi dalam Service First

Ya
Conversations with America
Kemajuannya Terbatas

Ya
Implementasi dan pelaporan oleh agensi
Didukung oleh lembaga Ombudsman yang independen dan Australian Competition & Consumer Commission

Sanksi

Tidak ada obligasi legal
Kompensasi yang terbatas bagi konsumen pelayanan (British Rail)
Secara reguler

Tidak ada obligasi legal
Secara reguler

Tidak ada obligasi legal

Evaluasi Internal

Laporan implementasi oleh Perdana Menteri kepada Parlemen;

Laporan NPR (1994, 1995, 1997)

Satu
Ellison (1999)

Evaluasi Eksternal

Pollitt (1994)
Bynoe (1996)
Kettl (1994, 1998)

Tidak ada

Sumber: OECD (1987) Australia, United Kingdom & United States Country Surveys; Kettl (1994, 1998); Bynoe (1996); OECD (1998) Australia, United Kingdom & United States Public Management Reports.
Indonesia
Setelah diimplementasikan di Inggris, Amerika, dan Australia, program Maklumat Pelayanan kemudian digagas di beberapa negara. Di Italia dikenal dengan nama La Carta dei servisi, di Perancis dikenal dengan sebutan La Charte des services, dan di Portugal dikenal dengan Carta para a qualidade nos servicos publicos.
Tidak terkecuali di Indonesia, program Maklumat Pelayanan merupakan suatu terobosan baru dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Partini, 2004). Bekerja sama dengan Ford Foundation, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada melakukan proyek percobaan untuk melembagakan model Maklumat Pelayanan. Kegiatan ini digagas di tiga kota sebagai pilot project. Di kota Blitar,  Citizen’s Charter dikembangkan di Puskesmas Bendo, Kecamatan Kepanjen. Pengenalan Citizen’s Charter oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK) yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Blitar melalui Dinas Kesehatan Kota Blitar pada tanggal 22 Juli 2003. Peluncuran program Citizen’s Charter ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepakatan kerjasama antara Walikota Blitar dan Koordinator Tim Pelembagaan Citizen’s Charter PSKK UGM.
Selain peluncuran program, upaya lain untuk menyebarluaskan konsep Citizen’s Charter di Kota Blitar juga dilakukan dengan cara antara lain mengadakan jumpa pers dengan wartawan se-Kota Blitar, mengadakan talkshow di radio, menyebarluaskan pamflet dan leaflet serta buku saku tentang Citizen’s Charter, pembuatan dan pemasangan spanduk dan poster di berbagai tempat.
Di Yogyakarta, program Citizen’s Charter digagas oleh Badan Kependudukan Keluarga Berencana dan Catatan Sipil Pemerintah Kota Yogyakarta bekerja sama dengan PSKK UGM. Langkah awal pembuatan Citizen’s Charter dilakukan melalui proses Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan masyarakat pengguna dan konsultan dari UGM untuk mendapatkan informasi tentang pelayanan yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan survey pengguna layanan untuk mendapatkan masukan yang lebih banyak dari masyarakat, yang dilanjutkan dengan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui peluang dan hambatan dalam penerapan Citizen’s Charter. Setelah melalui proses evaluasi baru dilakukan penerapan Citizen’s Charter untuk pelayanan akte kelahiran. Secara keseluruhan, proses penyusunan Citizen’s Charter untuk akte kelahiran berlangsung selama 6 bulan.
Sedangkan di Ambarawa, implementasi program Citizen’s Charter dilakukan dengan persiapan selama satu tahun mulai bulan Desember 2003 hingga Desember 2004. Program Citizen’s Charter berlaku untuk pelayanan KTP, KK, dan perijinan. Dari kontrak pelayanan yang sudah terbentuk, secara berkelanjutan dilakukan monitoring dan evaluasi. Evaluasi dilakukan setiap bulan melalui rapat koordinasi untuk menghimpun kritik dan saran dari masing-masing bagian. Selain itu juga dilakukan evaluasi tahunan dengan mengadakan FGD satu tahun sekali, untuk menampung masukan dan memberikan klarifikasi mengenai apa yang tertuang dalam Citizen’s Charter.
Alasan Penerapan Maklumat Pelayanan
Beberapa pakar seperti Pollit dan Bouckaert (2000), Ryan (2000), Barnes dan Gill (2000), Sims (2001) dan Bok (2001) menilai bahwa rendahnya kinerja pemerintah telah menyebabkan munculnya rasa tidak percaya (distrust) masyarakat kepada pemerintah. Padahal masyarakat mengharapkan agar pemerintah dan birokrasi dapat memberikan solusi untuk penyediaan pelayanan publik, tetapi sayangnya, rasa tidak percaya kepada insitusi dan politisi kian meningkat. Pertanyaan kunci adalah bagaimana pemerintah dapat merubah persepsi negatif ini dalam cara-cara yang paling diterima publik dalam suatu masyarakat yang demokratis?.
Buruknya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi dan rendahnya kinerja yang dihasilkan menjadi alasan yang paling fundamental mengapa kemudian manajemen pelayanan publik beriorientasi kualitas – dengan salah satu instrumennya adalah Maklumat Pelayanan – didisain dan diimplementasikan.
Untuk konteks Indonesia, Pusat Studi Kependudukan UGM (2002) menilai bahwa buruknya pelayanan kepada publik yang selama ini terjadi ditandai oleh beberapa hal seperti: 1) ketidakpuasan masyarakat pada umumnya terkait dengan waktu, biaya, dan cara pelayanan; 2) masih terdapatnya diskriminasi pelayanan, yang pada umumnya didasarkan pada diskriminasi atas hubungan pertemanan, afiliasi politik, etnis dan bahkan agama; 3) hal-hal seperti rantai birokrasi, suap, dan pungli menjadi semakin diterima dan dianggap wajar; 4) orientasi pelayanan tidak terhadap pengguna jasa tetapi kepada kepentingan pemerintah dan pejabatnya; 5) budaya yang berkembang bukan budaya pelayanan melainkan budaya kekuasaan; 6) prinsip yang mendasari sistem pelayanan bukan trust melainkan distrust, prosedur yang diterapkan bukan untuk memfasilitasi tetapi untuk mengontrol perilaku; dan 7) kewenangan untuk melayani terdistribusi pada banyak satuan birokrasi. Kondisi seperti yang disebutkan diatas kemudian menjadi alasan kuat untuk segera dicari solusi bagi perbaikan kualitas dan kinerja pelayanan publik.
Manfaat Penerapan Maklumat Pelayanan
Ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan dari implementasi Maklumat Pelayanan. Diantaranya adalah bahwa proses manajemen menjadi lebih terdesentralisir, disamping ada semangat pemberdayaan (empowerment) dari Maklumat Pelayanan. Pemberdayaan tidak hanya ditujukan kepada pengguna layanan, tetapi juga kepada line manager yang bertanggung jawab atas kualitas pelayanan. Maklumat ini dipastikan akan memberikan kekuasaan yang lebih signifikan kepada warga negara; memberikan a real voice karena salah satu elemen dalam dokumen ini adalah mekanisme voice yang diusung. Maklumat Pelayanan diyakini akan menjamin keadilan dan legitimasi.
Sejalan dengan pernyataan di atas, proses pelembagaan Maklumat Pelayanan ternyata memberikan banyak manfaat bagi upaya perbaikan kinerja penyelenggaraan pelayanan publik di masa datang. Manfaat yang dimaksud adalah 1) perubahan budaya dan norma pelayanan birokrasi; 2) terselenggaranya manajemen pelayanan publik yang partisipatif, transparan, dan akuntabel; 3) sebagai bentuk kegiatan advokasi pemberdayaan stakeholders di luar birokrasi; 4) membuka ruang dan kesempatan interaksi yang lebih luas antara birokrasi dengan masyarakt; serta 5) munculnya wacana untuk mengadopsi konsep Maklumat Pelayanan dalam penyusunan peraturan daerah tentang pelayanan publik (Partini, 2004).
Selain itu, Maklumat Pelayanan telah memberikan suatu proses pembelajaran (learning process) bagi banyak penyedia pelayanan publik mengenai bagaimana harus meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Ini dimungkinkan karena monitoring dan reviu yang kontinyu memotret kinerja pelayanan setelah Maklumat Pelayanan diimplementasikan. Hasil monitoring dan reviu tersebut bisa menjadi input bagi proses implementasi selanjutnya sekaligus sebagai bahan perbaikan di masa datang.
Berdasarkan penelitian komparasi di beberapa negara, McGuire (2001) juga menemukan terjadinya perbaikan dalam pemberian pelayanan setelah Maklumat Pelayanan diimplementasikan. Maklumat Pelayanan mampu memotret berbagai kelemahan atau kekurangan dalam pemberian pelayanan, meskipun kontribusi dari Maklumat Pelayanan kepada perbaikan kualitas pelayanan tidak diukur secara langsung. Sesuai dengan survey pendapat terhadap para birokrat, ditemukan bahwa Maklumat Pelayanan telah memberikan kontribusi bagi perubahan prosedur internal suatu organisasi, memperbaiki kontrol standar kualitas, meningkatkan persepsi internal menyangkut kualitas pelayanan, dan telah menciptakan kohesi yang kuat diantara tim. Maklumat Pelayanan menghasilkan efek psikologis yang positif bagi para staf sekalipun sistem reward (dalam bentuk uang) tidak digunakan.
Pada level eksternal, hasil survey kepuasan yang dilakukan sebelum dan setelah implementasi Maklumat Pelayanan menunjukkan bahwa terjadinya perbaikan persepsi masyarakat menyangkut aksesibilitas pelayanan, transparansi entitas, dan kooperasi diantara unit-unit terkait dan meningkatkan image entitas, pelayanan yang diberikan, dan kualitas.
Beberapa Prinsip dan Nilai dalam Maklumat Pelayanan
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mendisain dokumen Maklumat Pelayanan. Pertama, standar pelayanan hendaknya dapat dijelaskan sekonkrit mungkin. Yakni, standar pelayanan harus dapat terukur baik secara langsung – sebagai bagian dari prosedur normal – maupun melalui survey pelanggan. Kedua, standar pelayanan harus terkait erat dengan apa yang menjadi kebutuhan pengguna layanan dan berfokus pada isu-isu kunci yang menjadi perhatian mereka (pengguna layanan). Juga, para pemberi layanan harus memberikan pelayanan berdasarkan sudut pandang pengguna layanan, sehingga manajemen tidak diatur berdasarkan sudut pandang penyedia layanan. Ketiga, standar pelayanan hendaknya memperhatikan aspek pelayanan mana yang paling penting bagi pengguna layanan. Ini dapat diketahui dengan menggunakan informasi yang tersedia atau melakukan dialog atau tanya jawab dengan pengguna layanan. Keempat, standar pelayanan harus bisa menjawab persoalan yang terjadi namun lebih realistis. Penyedia layanan hendaknya menggunakan risorsis seefisien mungkin dan seefektif mungkin. Kelima, bahasa yang digunakan dalam dokumen Maklumat Pelayanan hendaknya sejelas mungkin untuk membantu pengguna layanan, terutama memberikan informasi yang menyeluruh tentang pelayanan. Misalnya ongkos yang harus dikeluarkan, prosedur, dan sebagainya. Lebih lanjut, Maklumat Pelayanan harus menyediakan nama, alamat, dan nomor telepon, serta sarana komunikasi yang lain.  Keenam, Maklumat Pelayanan harus bisa diterima oleh para staf lini depan (front-line staff) dan ada proses konsultasi dengan mereka.
Ketika Maklumat Pelayanan didisain, perlu diperhatikan nilai-nilai apa saja yang diakomodasikan nantinya. Hal ini mengingat dalam memberikan pelayanan kepada publik, ada sejumlah nilai (value) yang harus dikejar. Hal ini pun diakui oleh Van Wart dalam bukunya Changing Public Sector Values bahwa birokrat bekerja dalam sebuah lingkungan yang bermuatan nilai (value-laden environment) dan lingkungan yang didorong oleh sejumlah nilai (value-driven environment). Nilai-nilai ini menjadi pijakan dalam segala aktivitas birokrasi saat memberikan pelayanan kepada publik.
Terkait dengan pernyataan di atas, ada beberapa nilai yang harus dipegang teguh para formulator saat mendisain suatu Maklumat Pelayanan. Beberapa nilai yang dimaksud yakni:
1.                              Kesetaraan (equity);
2.                              Keadilan (fairness);
3.                              Keterbukaan (openess)
4.                              Kontinyuitas dan regularitas (continuity and regularity);
5.                              Partisipasi (participation);
6.                              Inovasi dan perbaikan (innovate and improve);
7.                              Efiensi (efficiency);
8.                              Efektivitas(effectiveness).
Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat Kernaghan (2003), bahwa dalam pelayanan kepada publik ada beberapa kategori nilai yang ingin dicapai. Pertama, nilai-nilai etika yang mencakup integritas, keadilan, akuntabilitas, loyalitas, respek, dan kejujuran. Kedua, nilai-nilai demokrasi yang mencakup aspek penegakan hukum, netralitas, akuntabilitas, loyalitas, keterbukaan, responsivitas, keterwakilan, dan legalitas. Ketiga, nilai-nilai profesional yang mencakup efektivitas, efisiensi, pelayanan, kepemimpinan, inovasi, kualitas, dan kreativitas. Keempat, nilai-nilai humanis, mencakup kepedulian, keadilan, toleransi, kesabaran, dan humanitas.
Hanya saja, seringkali pengejaran nilai yang satu bisa mengabaikan, bahkan meniadakan pemenuhan nilai yang lain. Selain itu penyedia layanan seringkali memiliki interpretasi yang berbeda tentang nilai-nilai yang ingin diraih saat mereka memberikan pelayanan kepada publik. Nilai yang diartikan sebagai keyakinan yang memengaruhi pilihan yang diambil menyangkut menyangkut means dan ends (Rokeach 1973, 5), kemudian menjadi salah satu persoalan yang sungguh kompleks yang harus diperhatikan ketika ada inisiatif untuk membuat dokumen Maklumat Pelayanan. Tentu saja semua nilai dan kepentingan tidak dapat terakomodasi dalam Maklumat Pelayanan.
Beberapa Komponen dalam Maklumat Pelayanan
Anatomi sebuah Maklumat Pelayanan bisa saja berbeda antara satu instansi dengan instansi yang lain, atau antara unit yang satu dengan unit yang lain. Meski demikian, ada beberapa hal pokok yang perlu ada dalam setiap Maklumat Pelayanan. Idealnya, suatu Maklumat Pelayanan mencakup beberapa poin penting berikut:
a.       Visi dan misi pelayanan. Untuk memberikan arah yang jelas bagi suatu unit pelayanan, diperlukan suatu rumusan visi pelayanan. Visi pelayanan merupakan gambaran situasi yang diinginkan di masa datang terkait dengan pelayanan yang diberikan. Sedangkan misi pelayanan menggambarkan untuk apa suatu unit pelayanan ada. Misi merupakan pernyataan tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh organisasi atau unit pemberi layanan.
b.      Standar pelayanan. Setelah menetapkan visi dan misi pelayanan, perlu ditentukan pula klien yang akan dilayani dan membangun standar pelayanan. Standar pelayanan berkaitan dengan output dan outcome pelayanan, seperti misalnya aksesibilitas, perlakuan yang sama, ketepatan waktu, jenis pelayanan, biaya pelayanan, jadual pelayanan, lamanya pelayanan, serta alur pelayanan.
c.       Etika Pelayanan. Etika diperlukan dalam kaitan dengan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan oleh setiap pegawai pemberi layanan.
d.      Hak dan Kewajiban, mencakup pengguna layanan maupun penyedia layanan.
e.       Sanksi-sanksi, ditujukan baik bagi penyedia layanan dan pengguna layanan).
f.       Saran, Kritik, dan Keluhan.
Proses Pengembangan Maklumat Pelayanan
Proses pelembagaan dan pengembangan Maklumat Pelayanan meliputi beberapa tahap. Tahap I, yakni promosi, bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang Maklumat Pelayanan, dan membangun kesepakatan diantara pengguna layanan, penyedia layanan, dan stakeholders yang lain. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Tahap I ini yakni melakukan diseminasi informasi dengan menyebarkan leaflet, iklan layanan masyarakat, dengar pendapat, serta pelatihan. Selain itu juga membentuk semacam jejaring (network), yakni membangun kontak diantara penyedia layanan, pengguna layanan, dan stakeholders, serta membentuk forum Maklumat Pelayanan. Selanjutnya dilakukan monitoring atas keseluruhan proses promosi.
Tahap II, yakni formulasi. Tahap ini bertujuan untuk membuat dokumen Maklumat Peayanan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan penjajakan kebutuhan melalui penilaian cepat (quick assessment), survey pengguna layanan, focus group discussion, maupun wawancara mendalam (in-depth interview). Dari kegiatan ini kemudian akan dihasilkan daftar identifikasi tentang masalah, harapan, kebutuhan, biaya, waktu, sikap, dan prosedur. Setelah itu kemudian melakukan validasi serta menyusun dokumen Maklumat Pelayanan. Proses akhir dari tahap I ini adalah melakukan monitoring atas keseluruhan proses formulasi.
Tahap III, yakni implementasi. Tujuannya adalah menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan Maklumat Pelayanan. Dalam proses implementasi juga dilakukan sosialisasi Maklumat Pelayanan dengan cara mendistribusikan Maklumat Pelayanan, pemuatan di media, serta melakukan talkshow radio/TV. Selain itu, melakukan pelatihan untuk penyediaan pelayanan. Selanjutnya, dilakukan monitoring atas seluruh proses implementasi.
Tahap IV yakni evaluasi. Tujuannya adalah untuk mengetahui pengalaman yang dapat dipetik dari penerapan Maklumat Pelayanan, dan menilai manfaat pelembagaan Maklumat Pelayanan untuk peningkatan kualitas pelayanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan survey pengguna layanan, observasi, serta focus group discussion.
Peluang dan Hambatan yang Dihadapi
Implementasi otonomi daerah telah membangkitkan kreativitas para pejabat di tingkat daerah untuk menggali berbagai potensi dan keunggulan. Otonomi daerah juga telah memberikan ruang yang cukup luas bagi pemerintah daerah untuk berkreasi, memajukan daerahnya, sekaligus menggunakan aspirasi yang ada di daerah. Dengan demikian, segala sesuatu tidak diatur secara sepihak dari pemerintah nasional. Ini telah menjadi peluang bagi para pemerintah daerah maupun instansi-instansi di daerah untuk menyusun suatu Maklumat Pelayanan yang aspiratif.
Semakin terbukanya ”keran” demokrasi bagi publik pasca pemerintahan Orde Baru juga menjadi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, termasuk dalam menyusun draf Maklumat Pelayanan. Selain dalam pembutan keputusan, proses partisipasi masyarakat juga meliputi keseluruhan proses (implemenasi hingga evaluasi). Terbukanya keran demokrasi ini telah menciptakan iklim yang sehat bagi pelayan publik dalam membangun relasinya dengan publik.
Hanya saja, kalau diamati lebih lanjut, salah satu penanda yang membedakan reformasi pelayanan publik di Indonesia dan di beberapa negara yang lain adalah menyangkut dukungan politik. Kalau di beberapa negara Eropa dan Amerika, seperti yang dikemukakan terdahulu, begitu kuat dukungan politik dari pimpinan nasional terkait dengan reformasi pelayanan publik. Misalnya saja White Paper yang dikeluarkan di tingkat nasional serta Service First  sebagai prakarsa dari Duchy Lancaster. Kemudian di Amerika, dukungan politik di tingkat nasional terwujud dengan dikeluarkannya Presidential Order dan National Performance Review oleh Wakil Presiden Al Gore.
Beberapa dokumen nasional tersebut kemudian dijadikan sebagai payung kebijakan yang selanjutnya akan menjadi pedoman bagi pemerintah di tingkat daerah maupun instansi-instansi dalam menyusun dokumen Maklumat Pelayanan. Bahkan di tingkat daerah pun seharusnya sudah ada dukungan politik untuk melegitimasi implementasi Maklumat Pelayanan. Belum adanya dukungan politik yang kuat baik di tingkat nasional maupun daerah harus menjadi perhatian pemerintah untuk menambah ”daya gigit” dari dokumen Maklumat Pelayanan.
Berdasarkan reviu pengalaman di beberapa negara, Maklumat Pelayanan masih belum menjadi dokumen yang ideal. Ada beberapa hal yang bisa dikritisi dari dokumen Maklumat yang ada. Pertama, menyangkut kejelasan konsep. Tidak ada perhatian secara umum kepada warga negara (citizen), misalnya, karena Maklumat justru lebih mengedepankan konsep pengguna (user) atau konsumen (consumer) pelayanan publik. Konsumen tidak dapat disamakan dengan warga negara. Menjadi konsumen artinya ada posisi tertentu dalam suatu jejaring hubungan, sedangkan warga negara adalah anggota dalam komunitas politik, suatu konsep yang jauh lebih luas.
Kedua, menyangkut keterbatasan responsivitas. Meyers dan Lacey (1996) menyatakan bahwa upaya untuk membuat pelayanan publik menjadi lebih responsif kepada pelanggan tergantung pada dua instrumen utama, yakni daya saing pasar (market contestability) dan tersedianya mekanisme voice. Maklumat Pelayanan merupakan suatu upaya untuk memberdayakan konsumen pelayanan publik dengan menggunakan mekanisme voice. Efektivitas Maklumat sebagai mekanisme voice sangat tergantung pada transparansi dan keterbukaan pelaporan kinerja dan mekanisme-mekanisme pengaduan (complaint mechanisms). Dan pelaporan kinerja bergantung pada informasi termasuk survey pengguna. Monitoring kinerja esensinya adalah merupakan suatu metodologi kuantitatif yang menggunakan kriteria dan indikator untuk mengukur kualitas pelayanan yang diberikan dan outcome program.
Ketiga, persoalan menyangkut konsep kualitas. Kualitas merupakan konsep yang abstrak yang masih kabur untuk ditemukan rumusan yang paling tepat. Padahal ada kesepakatan umum bahwa kualitas menjadi kriteria penting kinerja. Dalam sektor privat, perhatian utamanya mengarah kepada keterkaitan antara kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan profitabilitas sebagai suatu ukuran kinerja. Akan tetapi, ada perdebatan seputar ketepatan hubungan diantara ketiga aspek tersebut, dan ukuran yang tepat untuk mengetahui kualitas pelayanan. Teori TQM mengedepankan bahwa kualitas lebih terkait erat dengan ”aktivitas” dan ”proses” ketimbang ”wujud nyata” suatu aktivitas.
Keempat, persoalan tentang akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan konsep kunci bagi tata pemerintahan (governance) dalam sistem demokrasi. Menetapkan standar pelayanan dan monitoring kinerja merupakan bagian dari akuntabilitas manajerial (Zifcak 1994). Akan tetapi ini merupakan rumusan akuntabilitas yang sempit. Maklumat Pelayanan mengedepankan kepentingan pengguna (user), namun hendaknya lebih mengedepankan aspek pelayanan publik. Baik warga negara maupun pengguna (konsumen) memiliki kepentingan dalam pelayanan publik dan mekanisme akuntabilitas harus mempertimbangkan kedua perspektif tersebut. Dalam bahasa lain, responsivitas harus diberikan tidak hanya kepada pelanggan, tetapi juga stakeholders yang lain.
Penutup
Ringkasan implementasi Maklumat Pelayanan di beberapa negara dan tiga wilayah di Indonesia mengungkapkan beberapa similaritas. Similaritas yang dimaksud adalah konvergensi ideologi dari setiap Maklumat yang menerapkan prinsip manajerial dan nilai-nilai pelanggan. Hal ini terlihat dari komonalitas atau keseragaman bahasa dan tujuan (Kettl 1994, 1998; Walsh 1994; Boyne 1996). Responsivitas kepada pengguna atau pelanggan dan perbaikan pemberian layanan melalui transparansi dan akuntabilitas adalah beberapa prinsip yang diusung dalam Maklumat atau customer service plans.
Selain itu, kekuatan dari Maklumat Pelayanan adalah adanya dukungan politik yang kuat dan kepemimpinan yang memadai. Kontrol strategis lebih nyata dalam konteks Inggris dan Australia dimana Maklumat berkaitan erat dengan manajemen kinerja, ketimbang customer service plans yang digagas di Amerika.
Filosofi manajerialisme dan konsumerisme telah mendorong reformasi manajemen publik di Inggris, Australia, dan Amerika (Kettl 1994; Walsh 1994; Schick 1999). Sasarannya sama dalam ketiga negara tersebut, tetapi strategi dan teknik yang digunakan berbeda. Implementasi Maklumat di setiap negara bersandarkan pada teknik-teknik sektor privat, khususnya survey pelanggan (consumer survey) dan indikator kualitas pelayanan (service quality indicators).
Seiring dengan perkembangan birokrasi yang berkiblat kepada paradigma NPM, maka tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana menciptakan sebuah pemerintah yang works better and costs less. Upaya harus terus dilakukan agar tercipta pemerintah yang lebih efisien namun tetap mempertahankan kemampuannya untuk memberikan pelayanan dan jasa yang baik sesuai dengan tuntutan publik.
Prinsipnya, dalam memberikan pelayanan kepada publik, yang harus dikejar oleh pelayan publik adalah common good atau common purpose, dan hal tersebut setidaknya tidak menempatkan pengejaran kepentingan pribadi atau kelompok sebagai prioritas individu. Motivasi dalam tiap individu selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan derajat akuntabilitas individu atau organisasi kepada publik. Namun dalam kenyataannya, birokrasi memiliki sejumlah ambisi yang didorong oleh motivasi yang beragam.
Seperti apa anatomi dari suatu Maklumat Pelayanan yang dibuat, yang penting spirit dari Maklumat Pelayanan adalah untuk memenuhi kepentingan publik. Sehingga jangan sampai dokumen Maklumat Pelayanan hanya sekadar upaya pemenuhan kemauan politik saja. Kepentingan publik sangat terkait dengan aspek keadilan sosial (social equity). Untuk itu, Maklumat Pelayanan harus bisa mengakomodasi kepentingan warga negara (tidak hanya konsumen) yang kurang beruntung, kurang powerful, atau mereka yang memiliki kebutuhan yang mendesak. Di sinilah kemudian, eksistensi dari Maklumat Pelayanan (citizen’s charter) menemukan relevansinya.
Referensi
Kernaghan, Kenneth. 2003. Integrating Values Into Public Service: The Values Statement As Centerpiece. Public Administration Review.
Korea Research Institute for Local Administration. 2002. Public Service Charter in Korea. Local Government Series.
Lembaga Administrasi Publik. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN
Lembaga Administrasi Publik. 2006. Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. LAN.
McGuire, Linda. 2001. “Service Charters – Global Convergence or National Divergence? A Comparison of Initiatives in Australia, the United Kingdom and the United States”. Public Management Review.
Partini dan Bambang Wicaksono. 2004. Citizen’s Charter: Terobosan Baru Penyelenggaraan Publik di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.
Pollitt, Christopher. 1994. “The Citizen's Charter: A Preliminary Analysis”. Public Money & Management. Blackwell Publishers.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar, 2006.
Torres, Lourdes. 2005. Service Charters: Reshaping Trust in Government-The Case of Spain. Public Administration Review.







§ Dosen Universitas Wijaya Putra dan Analis Pelayanan Publik.